3 Juni 2013

PESAN DARI KOREA UNTUK HUTAN KITA (Bagian - 2 habis)

Sepanjang jalan di beberapa kabupaten yang dikunjungi di Korea, kondisi hutan sangat baik, bahkan tidak kelihatan perambahan, seperti layaknya di Indonesia. Hutan Pinus ciri khas negara dengan 4 (empat) musim ini menjadi pemandangan dominan. Empat musim itu yakni musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur. Kini negeri Ginseng ini memantapkan diri bukan hanya sebagai negara maju tetapi memiliki menejemen hutan yang layak untuk dipelajari. Berikut laporan bagian Kedua yang dikirim oleh Julmansyah Kepala KPH Batulanteh Sumbawa dari Seoul Korea Selatan. *** Nilai Hutan untuk Publik Hasil dari rehabilitasi hutan di Korea selama 40 tahun nampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat Korea saat ini. Rehabilitasi hutan di Korea dimulai sejak 1970 dibawah kepemimpinan Presiden Park Jung Hee, dengan percobaan rehabilitasi 1960-an. Bahkan sejak 1988 Pemerintah Korea bertekad untuk menekan deforestasi menjadi 0 (nol), dan itu menjadi kenyataan. Menurut Dr. Kyeong-hak Lee Kepala Pusat Perubahan Iklim pada Korea Forest Research Institute, kerusakan hutan sangat rendah 0,1% setiap tahun, itupun diakibatkan oleh infrastruktur berupa jalan dan infrastruktur pembangunan lainnya. Khusus keberhasilan Korea melakukan rehabilitasi hutannya, telah diakui oleh dunia dengan berbagai penghargaan dunia. Pembangunan kehutanan di Korea tidak semata-mata untuk produksi kayu akan tetapi untuk nilai-nilai lain dari ekosistem hutan yang jauh lebih bernilai ketimbang kayu. Nilai ekosistem hutan itu misalnya nilai air yang dihasilkan oleh hutan, kemampuan hutan melakukan kontrol erosi tanah, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon di udara (emisi) serta hutan untuk penyediaan ruang publik bahkan hutan untuk terapy kesehatan bagi ibu hamil dan anak-anak. Menurut Dr. Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service, komitmen Pemerintah Korea terkait dengan hutan untuk rekreasi dan pelayanan untuk publik tertuang dalam Rencana Kehutanan Nasional Korea 2008 – 2017. Dimana implementasinya hutan menyediakan ruang untuk meningkatkan kualitas hidup lebih baik. Pelayanan yang diberikan oleh hutan di Korea, berbagai program yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan setempat. Program-program tersebut misalnya hutan untuk ibu hamil (prenatal programme), hutan untuk anak-anak/childhood (Forest Kindergarten), Forest for Adolescence (untuk camping ground), forest for Adulthood berupa wahana rekreasi dan jalur sepeda gunung. Seperti di Kabupaten Hongcheon berada di Provinsi Kangwon, bagian Utara Kota Seoul, satu dari 7 (tujuh) wilayah hutan terbesar di Korea Selatan, saat dikunjungi membuktikan bahwa betapa seriusnya pemerintah Korea hingga di level kabupaten. Luas hutan di Kabupaten Hongcheon sebesar 118.173 Ha atau sepertiga dari luas hutan di Kab. Sumbawa. Di Kabupaten ini tersedia hutan seperti yang disebutkan oleh Dr. Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service. Berbagai fisilitas dalam kawasan hutan untuk menunjang kebutuhan rekreasi warga di kawasan hutan. Dari rumah bagi pengunjung (guest house), tempat berkemah, ruang pementasan outdoor, koleksi tanaman lokal serta tanaman herbal Korea dll. Semua fasilitas ini dikelola oleh unit khusus, sekaligus menjadi sumber pendapatan. Di tempat ini kita juga dapat mempelajari berbagai herbal Korea. Jika ditotal keuntungan atau manfaat nilai ekosistem hutan di Korea diperkirakan 73 Trilyun Won (Won mata uang Korea). Nilai hutan ini yang di Indonesia banyak tidak dihitung, pahal justru nilai bukan kayu yang seperti ini paling banyak. Sementara nilai kayu dalam satu kawasan hutan hanya maksimal 7% dari total nilai keseluruhan kawasan tersebut. Hutan Sumber Keanekaragaman Pangan Gaya hidup masyarakat Korea sangat dekat dengan berbagai tanaman lokal serta rempah-rempah lokal. Setiap makan masyarakat Korea lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran organik, yang diolah secara mentah serta di masak yang disebut dengan Kimchi. Pola makan seperti ini sepertinya telah dipikirkan oleh pemerintah setempat, dimana sumber sayur-sayuran, jamur-jamuran serta rempah-rempah lokal bersumber dari kawasan hutan dalam bentuk agroforestry dalam bahasa Indonesia disebut dengan wanatani. Masyarakat disekitar hutan diberikan ruang oleh pemerintah setempat untuk mengembangan agroforestry dengan menanam herbal dan rempat seperti Ginseng, jamur dll. Keuntungan Negara 4 musim ini, menghasilkan sayuran rempah yang tidak dapat tumbuh di negara tropis seperti Indonesia yang hanya mengenal dua musim. Sebagai negara maju, Korea telah berkembang pesat bukan hanya teknologi komunikasi dengan munculnya Samsung yang merajai dunia gadget dan handphone. Tetapi mereka mampu mengekspolrasi kekayaan alam hutan menjadi berbagai produk kesehatan. Menurut Prof. Dr. Sung Kii Kang dari Korea Forest Service banyaknya jenis kayu 1.300 species tanaman total Korea. Semak sekitar 3.600 jenis dan tanaman kayu yang direkomendasi jenisnya sebanyak 78 jenis. Potensi jenis tanaman ini yang kemudian menjadi sumber makanan di Korea. Tidak heran setiap makanan Korea sayuran-sayuran (Kimchi) selalu mendominasi. Pelajaran ini menarik dipelajari sebagai bekal untuk ketahanan pangan yang berasal hutan di Sumbawa serta di Indonesia** (Julmansyah)

27 Mei 2013

Pesan dari Korea untuk Hutan Kita (1)

Laporan Perjalanan dari Korea Selatan (Bagian Pertama) Surat Director of Global Forest Resources and Trade Division Korea Forest Service (KFS) Ref. No, KL-13-044 tentang Program Pengembangan Kapasitas KPH/REDD+ ("FMU/REDD+ Capacity Building Proqram") pada tanggal 20 – 24 Mei 2013 di Forest Training Institute, Seoul Korea, menjadi dasar Kementerian Kehutanan mengirima beberapa kepala KPH se Indonesia. Kementerian Kehutanan melalui Ditjen Planologi menetapkan 8 (delapan) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model di seluruh Indonesia sebagai peserta program. Delapan KPH Model tersebut antara lain: KPH Tasik Besar Serkap Provinsi Riau, KPH Kampar Kab. Kampar Riau, KPH Tebing Tinggi Riau, KPH Bali Timur Bali, KPH Kapuas Kab. Kapuas Kalimantan Tengah, KPH Batulanteh Kab. Sumbawa NTB, KPH Gularaya Provinsi Sulawesi Tenggara dan KPH Kota Agung Utara Kab. Tanggamus Lampung. Kegiatan kali ini untuk membekali para kepala KPH dalam konteks pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ (Reduce Emision from Degradation and Deforestation). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah bertekad bahwa pengelolaan hutan harus dikelola oleh organisasi di tingkat tapak atau KPH. Berbagai program Kementerian Kehutanan dengan parapihak untuk meningkatkan kapasitas pelaku pengelolaan hutan, termasuk dengan Korea Forest Service Korea Selatan. Berikut Laporan Julmansyah Kepala KPH Batulanteh Sumbawa dari Seoul Korea Selatan. *** Selama 5 (lima) hari proses pelatihan, menggunakan metode diskusi dan kunjungan lapangan. Proses in class dengan materi Forest Policies and restoration of Korea serta materi Indonesia – Republik of Korea REDD+ Collaboration Project. Hari pertama berlangsung di Kantor Korea Forest Service di Provinsi Kyung Gi, sekitar 50 menit dari Kota Seoul ke arah Utara. Berikutnya peserta diskusi di kantor Korea Forest Research Institute (KFRI), yang berada di pinggir Kota Seoul. Kemudian kunjungan ke Hongcheon National Forest Office. Kantor ini ibarat dinas kehutanan kabupaten kalau di Indonesia. Kabupaten Hongcheon berada di Provinsi Kangwon, bagian Utara Kota Seoul, dengan jarak perjalanan 1 jam 30 menit. Peserta kemudian mengunjungi SFM Model Forest Maehwasan, yang masih di wilayah Kabupaten Hongcheon. Rehabilitasi Hutan di Korea Sejak 1910 sampai 1945-an, Korea dijajah oleh Jepang. Penjajahan Jepang ini sangat berdampak pada sektor kehutanan di Korea. Dimana Jepang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya hutan Korea terutama kayu. Kerusakan hutan di Korea ini membuat hutan dan gunung gundul. Selepas dari regim Jepang, Korea mulai menata diri di sektor Kehutanan. Proses transisi berlangsung secara gradual dan konsisten bahkan bisa dikatakan, disiplin kata kuncinya. Transisi pembangunan kehutanan dalam kebijakan kehutanan Korea yang di mulai 1960 – 1970-an sebagai fase rehabilitasi. Kemudian 1970 – 1080-an sebagai fase re-vegetasi. Tahun 1990-an sebagai fase pengembangan sumberdaya hutan dan tahun 2000-an merupakan fase pengelolaan sumberdya hutan secara berkelanjutan (SFM/Sustainable Forest Management). Fase awal Korea, merupakan kerja keras karena membangun dari bekas jajahan Jepang. Fase pertama pembangunan kehutanan Korea yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Park Jung Hee, tepatnya 1976 yang ditandai dengan kegiatan penanaman di Daegwallyeong. Kesuksesan ini kemudian menjadi momentum Korea untuk secara bersungguh-sungguh membangun hutannya. Adopsi kesukseskan rehabilitasi hutan Korea kemudian dipayungi dengan kebijakan kehutanan. Fase keduanya (1988-1997), tujuan pembangun yang tertuang dalam kebijakan Korea yakni harmonisasi manfaat ekonomi dengan kepentingan publik. Beberapa capaian antara lain, mampu membangun hutan 3,03 juta Ha hingga tahun ini. Bahkan hutan dapat menjadi sumber pendapatan bagi desa-desa di pinggiran hutan. Dimana tidak ada lagi masyarakat desa di Korea yang merambah hutan dan melakukan peladangan berpindah, seperti yang dijelaskan oleh Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service. Fase 1998 – 2007, rencana kehutanan Korea, bertujuan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari, meningkatkan nilai sumberdaya hutan serta mempromosikan nilai hutan untuk kesehatan dan kenyamanan hidup. Rencana kehutanan Korea untuk tahun 2008 – 2017, dengan tema besar Sustainable Green Welfare Nation. Dimana pada fase ini fungsi hutan sebagai penyerap carbon (carbon sink) menjadi tujuan utama ditengah isu perubahan iklim. Bahkan tujuan terakhir dari rencana kehutanan nasional Korea yakni penguatan kerjasama internasional untuk pembangunan sumberdaya hutan dan konservasi hutan global. Pada tujuan ini kerjasama ASEAN-Korea terbentuk dalam satu aliansi (AFoCO). Secara khusus pemerintah Korea mengalokasikan hutan bagi anak-anak, sebagai forest recreation dalam menjawab kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan bahkan hutan tempat untuk terapy. Keberhasilan pembangunan hutan di Korea ini, mampu memberikan keuntungan bagi public berupa penyediaan air bersih, air yang berkualitas, kemampuan hutan mengontrol erosi, tempat rekreasi serta memberikan tepat bagi kehidupan liar. Jika ditotal keuntungan atau manfaat hutan ini diperkirakan 73 Trilyun Won (Won mata uang Korea). Nilai hutan ini yang di Indonesia banyak tidak dihitung, pahal justru nilai bukan kayu yang seperti ini paling banyak. Sementara nilai kayu dalam satu kawasan hutan hanya maksimal 7% dari total nilai keseluruhan kawasan tersebut. Bagaimana jika hutan rusak akibat lemahnya pengawasan serta komitmen pemerintah, maka kita akan kehilangan manfaat langsung hutan berupa, air bersih yang berkualitas, madu sebagai bagian dari kehidupan liar, dll. Sehingga pesan dari Korea ini, sudah saatnya kita serius dalam membangun hutan serta memberikan diversifikasi manfaat hutan secara lestari. Terutama pengelolaan oleh KPH (Julmansyah)**

21 Juli 2012

Menuju Kerjasama Energi Antar Daerah di NTB

Oleh Julmansyah (Ketua Forum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Indonesia dan Kepala KPH Model KPHP Batulanteh Sumbawa NTB) (di muat di Opini Harian Suara NTB, Kamis 19 Juli 2012, http://www.suarantb.com/2012/07/19/Sosial/detil5%201.html)
Otonomi daerah telah memberikan ruang bagi tumbuhnya kerjasama antar daerah. Akan tetapi tidak banyak rekam jejak terjadinya kerjasama antar daerah dalam satu provinsi. Justru hubungan antar daerah banyak diwarnai dengan perebutan sumberdaya alam, konflik tata batas daerah serta perebutan aset daerah. Sekalipun dalam konteks NTB telah ada beberapa kelembagaan yang memfasilitasi tumbuhnya kerjasama antar daerah, Sebut saja misalnya Management Regional Pulau Sumbawa yang sekretariatnya di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Akan tetapi kelembagaan tersebut belum juga mampu memainkan perannya yang nyata sehingga tumbuh kerjasama antar daerah, khususnya di Pulau Sumbawa. Tulisan ini hendak menawarkan dan menindaklanjuti gagasan yang disampaikan oleh Bupati Sumbawa Drs. H. Jamaluddin Malik pada Rapat Koordinasi (Rakor) Gubernur dan Bupati/Wali Kota se Provinsi Nusa Tenggara Barat, 19 Juni 2012 di Sumbawa Besar. Secara ringkas gagasan Bupati Sumbawa tersebut yakni ingin coba membangun konektivitas potensi dan peluang antar daerah, yakni antara Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa. Bahkan gagasan ini selanjutnya menjadi kesimpulan ke-8 dari hasil Rakor dan sekaligus sebagai instruksi Gubernur NTB kepada SKPD terkait. Hingga hari ini telah genap satu bulan instruksi Gubernur yang menjadi kesimpulan Rakor di Sumbawa. Dan tulisan ini sekaligus mengingatkan akan pentingnya instruksi Gubernur NTB. Gagasan konektivitas yang disampaikan Bupati Sumbawa yakni membangun kerjasama antara Kabupaten Sumbawa dan Lombok Timur dalam rangka menyelamatkan agribisnis tembakau. Dimana untuk menyalakan 14 ribu oven tembakau di Pulau Lombok dengan bahan bakar kayu, diperlukan supply bahan baku yang kontinu. Oleh Bupati Sumbawa, ingin coba adanya konektivitas antar daerah, dimana Sumbawa memiliki hutan produksi di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model KPHP Batulanteh, dapat didorong menjadi penyedia (provider) bahan baku kayu bakar untuk omprongan tebakau tersebut. Hal ini menjadi kesimpulan khusus dan meminta Dinas Kehutanan Provinsi NTB untuk menindaklanjutinya. Gagasan Kerjasama Energi Antar Daerah Saat ini kita dihadapkan dengan kondisi cadangan sumber daya energi tak terbarukan yang terbatas. Sehingga diperlukan adanya kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin. Untuk itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2012 menyampaikan kebijakan mengenai Gerakan Nasional Penghematan Energi. Salah satu pelarangannya yakni pelarangan BBM bersubsidi untuk perkebunan dan pertambangan. Bagi sebagian industri yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) tentu ini merupakan kebijakan yang tidak popular. Akan tetapi kita harus menghadapinya dan melakukan perubahan pola dan jenis konsumsi bahan bakar minyak. Salah satu usaha industri yang terkena dampaknya sejak 2010 lalu yakni oven tembakau di Pulau Lombok. Implementasi di level daerah, khususnya di usaha oven tembakau di NTB, telah dilakukan substitusi bahan baku oven tembakau dari minyak tanah bersubsidi diganti dengan batubara serta kayu bakar. Produksi tembakau dari agribisnis ini mampu menghasilkan 40.000 – 50.000 ton/tahun daun kering dengan luas tanaman + 22.000 hektar. Melibatkan + 14.000 unit pengeringan (oven) dan + 140.000 tenaga kerja yang berarti menghidupi sekitar 700.000 jiwa (16% dari jumlah penduduk NTB). Produksi Tembakau Virginia asap kering di Pulau Lombok tersebut menyumbang 66% terhadap produksi Tembakau Virgina nasional dengan nilai devisa Rp. 1,2 triliun per tahun. Pengeringan Tembakau Virginia di Pulau Lombok membutuhkan 50.000 – 60.000 kilo liter (kl) minyak tanah per tahun, Sebuah angka konsumsi yang cukup besar. Kini bahan baku oven tembakau tersebut telah menggunakan kayu bakar. Dihapuskannya subsidi dan dikuranginya jatah minyak tanah dapat mengancam usaha Tembakau Virginia kering. Kenyataan ini menunjukkan setelah dikurangi jatah minyak tanah bersubsidi, sebagian petani Tembakau Virginia Pulau Lombok beralih ke kayu bakar karena jauh lebih murah. Maka kebutuhan kayu bakar NTB akan naik secara signifikan. Kebutuhan kayu bakar untuk oven Tembakau Virginia di Pulau Lombok di masa mendatang diperkirakan 64.000 truk per tahun. Sebuah angka yang kita mesti pikirkan dampak terhadap hutan dan lahan jika tidak dikelola secara lestari. Sisi lain dari agribisnis ini pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapat dana bagi hasil cukai hasil Tembakau (DBHCHT) kurang lebih 130 miliar/tahun. Jika agribisnis ini lumpuh akibat tidak kontinu-nya bahan bakar kayu, maka dampaknya terhadap pengangguran, pendapatan masyarakat serta daerah akan lebih besar. Disinilah letak posisi strategis kerjasama energi antar daerah. Dimana daerah yang memiliki potensi kawasan hutan/lahan dapat menjadi suppliyer atau penyedia kayu ke daerah pengguna kayu. Dalam konteks ini Kabupaten Sumbawa dapat menjadi daerah penyedia dan Lombok Timur sebagai pengguna, dengan memaksimalkan dan memanfaatkan keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Dalam hal ini KPHP Batulanteh di Kabupaten Sumbawa. Inilah peluang kerjasama antar daerah, dimana sumbawa memiliki KPHP Batulanteh dengan luas + 32.776 (tiga puluh dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam) hektar. Luasan ini terdapat hutan produksi terbatas 14.842 hektar dan hutan produksi tetap 3.631 hektar. Luas hutan produksi ini dapat menjadi satu unit manjemen pengelolaan hutan lestari oleh KPHP Batulanteh yang siap men-supply kayu bakar untuk oven tembakau di Pulau Lombok. Peluang Tumbuhnya Kerjasama KPHP Batulanteh merupakan KPH model yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.342/Menhut-II/2011 tertanggal 28 Juni 2011. KPHP Batulanteh memiliki luas hutan produksi dengan kondisi kritis/semak belukar sekitar 9 ribu ha. Potensi kawasan hutan produksi ini, dapat menjadi peluang agar KPH yang merupakan perangkat organisasi daerah dapat berperan menjadi pengelola hutan sesungguhnya. Jika KPH menjadi pengelola hutan, maka daerah akan mendapat pendapatan daerah secara langsung, selain pemerintah pusat mendapatkan dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Jika areal tersebut diserahkan kepada HTI (perusahaan), maka proses pengurusannya sangat lama (bisa 2-3 tahun) dan daerah tidak mendapat pendapatan langsung, kerena negara hanya mendapat skema dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Sesuai dengan peraturan pemerintah pasal 21 pp 6 tahun 2001 jo pp no 3 tahun 2008 KPHP Batulanteh sebagai perangkat daerah bisa mengelola hutan, dimana KPH dapat ditugasi oleh Menteri Kehutanan untuk mengelola wilayah tertentu. Sampai saat ini wilayah tertentu ini belum tersedia konsep di Kementerian Kehutanan. Konsep wilayah tertentu ini dimaksudkan untuk dalam rangka pengembangan KPH kedepan dan ini merupakan diskresi bagi menteri kehutanan. Agar konsep kerjasama ini bisa berjalan dan argroindustri tembakau di Pulau Lombok bisa kontinu maka konsep ini harus mendapat perhatian Menteri Kehutanan. Untuk itu maka Gubernur NTB bersama Bupati Sumbawa dan Bupati Lombok Timur bersama-sama menyapaikan usulan ini. Jika Menteri Kehutanan dapat menerbitkan SK pengelolan untuk wilayah KPHP, maka selanjutnya KPHP Batulanteh bersama perusahaan Tembakau melalui skema kerjasama membangun unit hutan tanaman secara lestari untuk men-supply bahan baku kayu bakar bagi 14.000 unit oven tembakau di Pulau Lombok. Penutup Gagasan ini sesungguhnya dapat menjadi inovasi daerah dalam rangka menyambut gagasan yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT Rio +20 beberapa waktu yang lalu. SBY menyampaikan tentang ekonomi Hijau (green economi) sekaligus menjadi konsensus global. Implementasi ekonomi hijau ala NTB yakni satu sisi pengurangan bahan bakar fosil sisi lain membangun unit hutan secara lestari. Dampaknya masyarakat agribisnis tembakau di Lombok Timur dan masyarakat pinggiran hutan di Sumbawa menjadi lebih baik. Inilah sejatinya kerja-kerja pemerintah kedepan, sekaligus membuktikan bahwa masyarakat daerah bisa mengelola hutan.

31 Maret 2012

Kesatuan Pengelolaan Hutan: Kembali ke Jalan yang Benar Pengelolaan Hutan di Daerah

Sumbawa 19 Maret 2012 lalu, dilaksanakan Konsultasi Publik Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batulanteh. Konsultasi Publik ini mengangkat tema Optimalisasi sumberdaya hutan untuk pendapatan daerah dan masyarakat melalui perkuatan kelembagaan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di kabupaten sumbawa. Merupakan kerjasama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa dengan WWF Indonesia Nusa Tenggara Program. Kegiatan ini dengan narasumber perwakilan dari Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan dan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi daerah Istimewah Yogyakarta (DIY).
Konsultasi ini merupakan saran untuk menampung saran, masukan dan usulan stakeholders terkait dengan keberadaan hutan di wilayah Batulanteh. Menurut Wakil Bupati Sumbawa Drs. H. Arasy Muhkan dalam sambutan pada acara ini, dikatakan bahwa kawasan KPH Batulanteh merupakan sumber air bagi wilayah Kota Sumbawa Besar dan kecamatan sekitarnya. Sehingga pengelolaan hutan di Batulanteh ini menjadi penting dan strategis. Menurut Wabub, diilustrasikan bahwa hutan kita saat ini ibarat sebuah gudang, dimana kita telah memiliki gudang akan tetapi kita belum punya pengelola gudangnya. Sehingga isi gudang sering dicuri, rusak karena tidak jelas siapa yang mengelola. Untuk itulah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ini hadir. KPH akan menjadi penjaga hutan hingga di tingkat tapak. Sehingga hutan kita kedepan akan ada penunggunya dan hutan akan terbagi dalam petak dan blok. Dengan cara ini hutan kita akan terjaga dan kita dapat menikmati keberadaannya, ujar Wakil Bupati Sumbawa. Pada kesempatan yang sama, pengalaman pengelolaan KPH Daerah Istimewa Yogyakarta yang disampaikan oleh Aji Sukmono, S.Hut.,MP mengatakan kontribusi KPH Yogyakarta pada PAD Yogyakarta tahun 2011 sebesar Rp. 6.473.306.400 (enam milyar empat ratus tujuh puluh tiga juta rupiah). Kontribusi ini berasal dari pengelolaan hasil hutan bukan kayu Minyak Kayu Putih, dengan produksi sebesar 44.681 liter. Hal ini berbeda dengan kontribusi PAD dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa sejak 2006 sampai 2011 berkurang dari 600 juta rupiah menjadi 250 juta rupiah. Sehingga menurut Ketua DPRD Sumbawa H. Farhan Bulkiah yang hadir pada acara tersebut, tidak ada keraguan sama sekali bagi DPRD untuk tidak menyetujui keberadaan KPH Batulanteh. Lanjutnya, keberadaan KPH Batulanteh yang rancangan perdanya sedang diajukan oleh eksekutif, akan sangat klop dan relevan dengan rancangan Perda Pengelolaan Terpadu Sub DAS Batulanteh yang menjadi hak inisiatif DPRD Sumbawa. Pada kesempatan yang sama Ir. Ali Djadjono, M.Sc dari Direktorat wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan. Menurut Ali Djadjono kementerian Kehutanan sangat concern dengan keberadaan KPH. Keberadaannya sudah dipayungi dari UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007, berbagai Peraturan Menteri Kehutanan dalam rangka implementasi KPH. Bahkan dukungan dari Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomo 61 tahun 2010. Salah satu keseriusan Kementerian Kehutanan adalah tahun 2011 telah dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kehutanan khusus KPH. Untuk merealisasi penataan kawasan menjadi KPH dimulai dengan penetapan KPH Model di Indonesia. Penetapan UPT KPH Batulanteh sebagai KPH Model KPHP Batulanteh oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.342/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Batulanteh (Unit IX) yang Terletak di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat, tertanggal 28 Juni 2011. KPHP Batulanteh ini dengan luas + 32.776 (tiga puluh dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam) Hektar. Luasan ini meliputi 7 wilayah kecamatan terdiri dari Kecamatan Moyo Hulu, Moyo Hilir, Moyo Utara, Lab. Badas, Batulanteh, Unter Iwis dan Kec. Sumbawa. Berikut tabel 3 KPH di Kabupaten Sumbawa. Pada kesempatan yang sama Wakil Bupati Sumbawa juga menyampaikan bahwa Pemda Sumbawa juga telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan usulan KPH Model selain KPH Model KPHP Batulanteh. KPH tersebut yakni KPH Puncak Ngengas di wilayah kecamatan Alas Barat sampai dengan Kec. Rhee dan KPH Ampang dari Kec. Tarano hingga Kec. Plampang.